25 tahun OTW krisis pangan 2050, bagaimana sikap Indonesia?
Tak dipungkiri jumlah penduduk akan meningkat secara eksponensial di tahun 2050 diprediksi aka ada sekitar 10,5 miliar manusia (United Nations Populations Division/UNDP). Dalam hukum Malthusianism, oleh Thomas Malthus, disebutkan ketidakseimbangan pertumbuhan produk agrikultur secara aritmatikal akan pada akhirnya mengakibatkan kelaparan dan kemiskinan. Sisi lingkungan juga menyebutkan bahwa peningkatan suhu akibat perubahan iklim turut menjadi penyebab sulitnya pemenuhan pangan. Misalnya kejadian banjir yang turut merendam tanaman di Brebes, sehingga diperkirakan kerugian bisa mencapai miliaran. Lalu bagaimana sebaiknya pemerintah menanggapi hal tersebut:
- Pemerintah melalui kepala BMKG (Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika) Dwikorita, mengambil langkah untuk mensosialisasikan perubahan iklim dan pemanfaatan tekonologi kepada petani milenial. Hal ini sebagai Langkah mitigasi musim kemarau yang lebih pendek di tahun 2025, sehingga petani disarankan untuk menyesuaikan jadwal tanam, termasuk pemilihan varietas tahan kekeringan, dan pengelolaan sumber daya air yang optimal.
- Isu ini juga direspon oleh Kementrian Desa dan Pembangunan Daerah Tertinggal (Kemendesa PDT) melalui Keputusan Mentri Nomor 3 Tahun 2025 yang mangatur strategi penggunaan dana desa, yaitu kewajiban untuk mengalokasikan 20% minimal dana desa dalam program ketahanan pangan. Alokasi dana ini diharapkan dapat menjadikan desa lebih mereapkan swasembada pangan yang berkelanjutan. Misalnya, dengan penerapan diversifikasi pangan lokal, pengembangan teknologi irigasi hemat air, pengembangan tambak udang dan rumput laut ramah lingkungan.
- Pemerintah melalui Kemendesa PDT juga mengimbau setiap desa untuk memiliki sector unggulan sesuai prioritas kebutuhan lokal masyarakat. Contohnya seperti pengembangan produk Kopi yang Desa ngadirejo, Kabupaten Temanggung oleh Badan Usaha Milik Desa. Beberapa desa di Nusa Tenggara Barat juga memiliki ketahanan yang baik untuk tanaman sorgum yang cocok pada daerah rawan kekeringan.
- Di kutip dari Tempo, bahwa pemerintah melalui Rokhmin Dahuri, Anggota Komisi IV DPR RI, juga mengingatkan bahwa indikator ketahanan pangan tidak hanya dilihat dari produksi pangan nasional, tapi juga termasuk tingkat kesejahteraan petani, dan keseluruhan system pangan yang berkelanjutan dalam hal ini adalah logistic dan distribusi atau pemerataan. Seperti produksi beras yang tahun ini diprediksi sebanyak 33 juta ton, sementara kebutuhan nasional hanya 31 juta ton sehingga disimpulkan seharusnya surplus. Akan tetapi pemerintah sendiri hingga saat ini berenca menghapus kuota impor komoditas strategis (kedelai, gula, beras) sehingga dapat mengancam kesejahteraan petani nasional dan harga.
- Rencana penghapusan kuota impor beras oleh Presiden, Prabowo Subianto, untuk memudahkan pelaku usaha dan menyederhanakan birokrasi menuai reaksi dari berbagai pihak. Melihat kondisi pasar domestic yang saat ini tidak baik-baik saja, dapat memicu kerentanan akibat banjit produk asing, ungkap pakar INDEF (Institute for Development of Economics and Finance). Sehingga dibutuhkan pengawasan dan regulasi yang ketat apabila rencana ini benar diimplementasikan.
- Melibatkan 115 tenaga pertanian dalam mendukung pertahanan negara dengan melibatkan peran dalam perwira karier. Seperti yang disampaikan oleh Mentri Pertanian, Amran Sualiman, bahwa inisiatif tersebut dapat mengkokohkan ketahanan pangan Indonesia, sesuai amanat presiden, Prabowo Subianto. Hal ini juga dinilai dapat menjadi solusi dalam menjaga kesetabilan pangan nasional masa depan.
Terlepas dari pro kontra upaya pemerintah Indonesia dalam memitigasi keretanan pangan di tahun 2050, sejak awal pemeritnah telah menjadikan swasembada pangan sebagai salah satu tujuan (Asta Cita), yaitu dengan “Memantapkan sistem pertahanan keamanan negara dan mendorong kemandirian bangsa melalui swasembada pangan…”. Secara umum, melalui Kementrian Keuangan, pemerintah menaikkan anggaran ketahanan pangan sebesar 7,8% menjadi Rp 155,5 triliun untuk mendorong aktivitas produksi pangan nasional. Berbagai upaya, baik agrikultur, lingkungan, dan finansial tetap dilakukan strategis untuk menuju swasembada pangan dan mengurangi risiko krisis ketahanan pangan 2050.