#Balada Ketaatan ‘Sayur Asem’ Keluarga
Memiliki dua suku dalam satu keluarga bukan lagi hal yang baru. Sebenarnya ini sebuah privilage untuk benar-benar merasakan makna Bhinekka Tunggal Ika. Sebutan untuk yang masih dalam level lokal Indonesia, tapi kalau sudah sampai taraf impor yah maknanya meluas menjadi Global Citizen.
Beda budaya, beda bahasa, beda rasa. Ingat, kebhinekaan bukan cuma tentang beragam pakaian adat yang sekarang mulai dikalahkan oleh fashion millenial, atau ragam rumah adat yang sekarang cuma bika kita jumpai di dalam RPUL beberapa tahun lalu. Sekarang zamannya rumah minimalis atau yang bercorak american style seperti rumah para artis Indonesia.
Bagi kalian yang pernah atau masih tinggal di pulau Jawa pasti nggak asing sama yang namanya sayur asem. Beda dari bakwan atau ote-ote yang memiliki beragam nama berbeda setiap daerah, padahal rasanya sama. Kalau sayur asem kebalikannya.
Daerah timur jawa melihat sayur asem hanya sebatas potongan sayur yang diberi kuah bening, garam, gula, dan brambang (bawang merah). Nggak jauh beda dari lalapan yang disiram air garam. Tak ada maksud menghina hidangan, karena yah selera masing-masing toh. Jenis sayur asem ini adalah spesies pertama yang dikenalkan oleh keluarga Bapak, kebetulan Jawa Timuran. Bapak sendiri pun mengatakan ‘Rasanya anyep tok,’ anyep maksudnya dingin atau nggak berasa. Yah memang, orang rasanya aja masih enakan soto tiga ribuan depan SD saya.
Walaupun nggak ada rasanya, tapi bapak tetap menilai bahwa sayur asem asal kota kelahirannya itu paling uwenak, dan memang begitulah penampakan lumrah (wajar) sayur asem. Nggak boleh ditambah atau dikurang. Ibu yang mengambil peran sebagai seorang istri di sini ya taat saja pada bapak. Lidahku gamang melihat kenyataan ini, ingin kubawakan soto depan SD saja rasanya.
Menuju jawa tengah dan Jogja. Pengalaman empat tahun nggak ngapa-ngapain di Jogja membuat saya lebih mengenal makna sayur asem. Rupanya ada satu rempah khas yang sering digunakan dalam masakan ini, sesuai namanya, yaitu asam jawa. Rempah ini ternyata yang sering tergantikan oleh kehadiran si tomat di daerah timur.
Sembilan belas tahun lamanya saya dan keluarga mengonsumsi sayur asem. Karena tinggal di Solo, ya jadinya pemaknaan saya terhadap hakikat sayur asem sebatas asam jawa dan sayuran potong. Namun rasa penasaran saya untuk memaknai hakikat sayur asem tak kunjung padam, malah semakin membara. Melihat banyak cerita kuliner para food reviewer yang biasanya Cuma bisa bilang ‘enak’ atau ‘enak banget’ ini yang membuat saya gatal ingin membuktikannya sendiri.
Karena saya percaya dibalik masakan, pasti ada budaya dan cerita khas yang harusnya dilestarikan. Nilai kesehatan dan nutrisinya juga perlu dipertimbangkan. Nggak sekedar ini enak atau ini enak banget. Maknyusss ‘eh’.
Walau ayah asli Jawa Timur, namun ibu saya asli Maluku. Karena sudah 20 tahun tinggal di Solo jadi ibu terbiasa memasak sayur asem Solo, Jawa Tengah. Rupanya ibu menuruti keinginan bapak yang lebih menyukai sayur asem Solo dibandingkan jawa timur. Sehingga saya pun tumbuh dalam keluarga dengan cita rasa sayur asem Solo.
Ternyata menemukan ma’rifat sayur asem nggak cukup jika hanya studi banding keluar provinsi. Rupanya saya perlu untuk studi banding keluar pulau. Sampailah saya di Kota Ambon, kampung ibu saya.
Saya pun disuguhkan hidangan yang sebelumnya tak banyak saya jumpai di rumah. Ada ikan bakar, ikan kuah kuning, sambal colo-colo, dan banyak lagi. Tak hanya lauk nenek juga menghidangkan sejenis sayur seperti, acar nanas dan sayur sop. Tak ketinggalan sayur lodeh, dan sayur asam.
Rupanya nenek ingin benar-benar menyuguhkan cita rasa baru bagi cucunya yang baru berkunjung ke tanah kelahirannya. Sepertinya kini nenek berusaha menunjukkan spesies tercerdas dari sayur asem. Sayur asem Maluku. Rempahnya sangat beragam hingga membuat kuahnya tak lagi bening. Penambahan terasi dan bumbu lainnya mulai membawa lidah hilang kontrol. Bersama dengan sedapnya ikan bakar juga sambal, sayur asam kini tepat bertransformasi menjadi hidangan spesial.
Setelah kutelusuri, rupanya ada juga spesies sayur asem yang sama dengan Maluku punya, yaitu tak lain dan tak bukan, sang legenda sayur asem jakarta. Bagi daerah jawa barat, sayur asem hukumnya fardhu ‘ain untuk menambahkan terasi. Rasanya dan penampakannya pun tak jauh beda dari sayur asem maluku.
Selepas mencicip sayur asem Jakarta dan Maluku, lidah saya seperti menggingit cabai dalam bakwan, kaget dan tak terlupakan. Bapak pun setuju dan akhirnya mengalah untuk mengizinkan ibu mengkreasikan sayur asem maluku juga jakarta. Begitulah sekiranya apabila lidah lebih dulu mencicipi maka hati akan terbuka dan menerima perbedaan yang rupanya lebih nikmat.