Izinkan saya mengucapkan permohonan maaf sekaligus terima kasih sebesar-besarnya kepada seluruh tenaga gizi, clinical instructor, dan dosen lapangan. Tanpa kalian mungkin perjalanan profesi saya akan mirip seperti lays yang flat.
Sebaca saya di modul profesionalisme dari Kementrian Kesehatan, profesional dibangun di atas tiga pilar, meliputi pengetahuan (knowledge), keterampilan (skill), dan perilaku (behavior) dalam melaksanakan tugas keprofesiannya sehari-hari. Menjadi professional artinya harus mampu menempatkan diri sebagai seorang yang paham dan mengerti akan tugas dan tanggung jawab pekerjaan, membangun hubungan dan relasi kerja dengan tim lain, serta selalu fokus dan konsisten dalam mengejar target dan tujuan organisasi.
Menjadi professional tidak hanya menjadi sosok yang kompeten dan sistematik, tapi juga harus berdedikasi, berintegritas, mampu bekerja dalam tim, serta memiliki batasan. Tidak seperti saat PKL apalagi tutorial yang sangat superfisial, Rasanya seperti hampir dilepaskan, sama seperti apa yang diakatakn Morpheus dalam film The Matrix “I can only show you the door, you’re the one that has to walk through it,”
Saya termasuk yang beruntung dengan prbabilitas 1 banding empat untuk bisa merasakan langsung atmosfer ketegangan di rumah sakit akademik UGM. Sebenarnya kata tegang di sini bisa berarti banyak hal, tapi yang pasti saya juga mendapat banyak ilmu dan pengalaman yang saya yakin akan membuat cemburu teman-teman saya yang tidak berkesempatan praktik di RSA.
Gold Standard Praktik Gizi Klinis
Saya masih ingat bagaimana saat PKL dulu, RSA dan Sardjito menjadi golden standard diskusi kasus. Benar saja ketika masuk saya dihadapkan dengan sistem yang sangat rapid an terstrktur. Saya bahkan sempat membandingkannya dengan Sardjito, walau lebih tua tapi saya rasa Sardjito masih harus belajar tentnag sistem rekam medis dari RSA. Selebihnya adalah baik dan mengagumkan.
Mentalitas Profesional
Dalam kode etik dibutuhkan tujuh poin dalam membangun mentalitas professional dan ini semua saya temui di kedua lahan praktik dengan style berbeda.
Pertama, adalah mentalitas mutu yaitu saat setiap ahli gizi dan tenaga medis yang lain mendedikasikan segenap waktu, tenaga, dan pikiran untuk melakukan tugas dengan tepat dan hati-hati. Dalam masa adaptasi saya masih tampak tergesa-gesa dan beberapa data sempat tidak terukur. Masa orientasi dan adaptasi yang cukup lama hingga minggu ketiga saya baru bisa menyelesaikan kasus dengan kesalahan minimal dan memberikan diet yang tepat. Intinya adalah jangan tergesa dan pastikan mutu pelayanan sesuai dan menyeluruh.
Kedua, mentalitas altruistic. Saya sempat membahas tentang poin altruism dalam refleksi stase sebelumnya. Menurut saya hal ini sudah seharusnya dijadikan karakter utama dalam berperilaku professional sehari-hari. Sseorang professional yang selalu dimotivasi oleh keinginan mulia berbuat baik dan berguna bagi masyarakat. Mutu kerja tinggi secara teknis, kemudian nilai kerja itu diabdikan demi kependitngan masyarakat yang didorong oleh kebaikan hati, dan bersedia berkorban.
Saya ingin berbicara sedikit banyak tentang altruisme ini. Mungkin satu hal yang saya kurang gali selama di RSA, karena mungkin masih berkutat dengan teknis gizi klinis. Saya bersyukur karena diberikan staase Sardjito tepat di akhir perjalanan praktik lahan saya. Di sana saya bertemu langsung dengan legend of legend. Mereka, para professional hebat, yang sering mengisi kelas saya semasa kuliah. Walau saya lebih banyak bengongnya karena tidak kunjung paham, tapi menemui mereka langsung di lapangan, saya merasa sangat beruntung dan bersyukur.
Saya dapat melihat bagaimana teman-teman di lahan baik RSA dan Sardjito sangat mendedikasikan waktunya untuk dapat menjadikan pelayanan gizi adalah yang terbaik. Selanjutnya akan saya bahas di bagian refleksi karena cerita ini sangat seru.
Ketiga adalah mentalitas melayani. Terlihat dari bagaimana assessment hingga monitoring dan evaluasi dapat dijalankan dengan rapid an menyeluruh oleh para ahli gizi di sana. Keempat adalah mentalitas pembelajar. Hal ini terlihat jelas karena RSA sangat menjunjung tinggi apa yang disebut dengan eveidence based. Beberapa kali kami terlibat diskusi, walau jauh dari kata paham tapi saya menikmatinya.
Mencari satu persatu sumber bacaan dan memastikannya itu adalah yang terbaru dan dapat diterapkan kepada pasien. Begitu pula di Sardjito, yah walau diakui RS Akademik benar-benar memegang teguh prinsip akademik tidak hanya menjadi nama tapi juga nilai dalam profesionalisme sehari-hari. Sejujurnya hal ini membutuhkan waktu lama untuk dapat mengikuti ritme kerja teman-teman klinis, terlebih untuk monev super cepat di ICU.
Saya masih ingat selama seminggu di ICU saya sering mendapati Bu Meike pulang lebih dari jam 4. Beban kerja dan sikap idealis beliau membuat saya banyak belajar bahwa ‘go extra mild’ harus menjadi karakter mendasar bagi para professional.
Selanjutnya ada mentalitas pengabdian. Hal ini berkaitan dengan kesadaran bahwa professional menekuni bidang kerjanya. Pilihannya itu biasanya ada kaitannya dengan ketertarikan pada bidang tersebut, sehingga memunculkan rasa keterpanggilan untuk mengabdi di bidang tersebut.
Selanjutnya adalah mentalitas kreatif yang berkaitan dengan perkembangan ke tahap seni setelah menguasai kompetensi teknis di bidangnya. Mulai dari seni assessment pasien hingga monev, saya banyak belajar dari kedua lahan praktik. Tentunya setiap ahli gizi memiliki kekhasan dalam menyelesaikan tugasnya. Satu hal yang saya sadari sama adalah seni mengatur waktu. Bagaimana menyempatkan dan tidak menunda.
Terakhir adalah mentalitas etis. Ini berkaitan dengan tertib dalam menjalani prorfesinya dengan tidak mengkhianati etika dan moralitas demi hal-hal sementara, uang misalnya.
Lanjut ke Part 3 Cerita Profesi