Ternyata dalam perspektif psikologi, FINDING ME, memang tidak akan pernah selesai. Kala itu teringat kembali materi MPM (Menuju Puncak Manfaat) kala itu pemateri meminta peserta untuk menuliskan kekurangan dan kelebihan. Kemudian jumlah point keduanya saling diselisihkan, yang mendapat skor tinggi diasumsikan lebih baik dalam mengenal diri.
Jujur saja, saat itu saya mendapatkan nilai minus, alias belum maksimal dalam mengenali potensi diri. Kekurangan memang saya tulis lebih banyak daripada kelebihan. Itulah yang akan kita bahas kali ini.
Dalam buku kuning ‘Jangan mau jadi paku jadilah palu’ seorang filsuf menyebutkan bahwa ketika seseorang diminta untuk menceritakan sebuah kejadian dalam hidupnya, kemungkinan besar, dia akan menceritakan keberhasilannya 7 kali lebih sering daripada kegagalannya. Itulah kecenderungan manusia. Mungkin saat MPM saya belum melihat diri saya sebagai seorang manusia, yah setidaknya lebih dari seorang omnivora.
Lalu bagaimana ?
Tepat empat hari yang lalu, seseorang menyampaikan bahwa mereka yang tidak atau belum mampu selesai dengan dirinya mungkin bisa mengambil kesempatan untuk mengembangkan diri di luar asrama. Sebenarnya saya tidak terlalu paham akan mengarah ke mana, entahlah mungkin saat itu saya juga belum seutuhnya menjadi sosok manusia.
Sehari setelah evaluasi asrama, secara parsial, tubuh saya lah yang pertama kali beradaptasi dengan 30 menit fase ‘deg-degan’ itu. Butuh dua puluh empat penuh untuk mengembalikan hormone dan enzim yang sempat terombang-ambing dalam metabolis katabolik sel-sel tubuh saya. Bukan perkara mudah. Tapi setidaknya tidak sesulit membaca diatas kasur kamar dengan lampu dimatikan dan jendela berbunyi sendu.
Hujan turun, bau bakteri itu kembali muncul menyeruak hidung yang bahkan belum bisa membau tumis tempe makan malam. Jilidan tebal kertas bersampul biru, buku favorit masih tertutup rapi di atas kasur. Setidaknya dia selalu menyambutku setelah fase ‘deg-deg an’ itu. Tentu saja aku mengambilnya, membuka kembali lembaran-lembaran buku biru.
Yah membayangkan diriku menjadi tokoh utama dalam sebuah cerita, cerita asrama. Cerita di mana aku telah menemukan diriku sendiri. Mataku berkunang-kunang. Enzim dalam tubuh kembali memberontak minta berhenti untuk berfikir, mungkin glukosaku sudah menipis. Otakku butuh energy, aku kembali menghabiskan tumis tempeku.
Esok harinya, aku terbangun dengan kondisi katabolik semakin berantakan. Aku ingin menghemat energiku, agar tidak terlalu terkuras ketika bertemu dengan banyak orang. Karena kita diharuskan berkontribusi dengan banyak orang bukan ? Ternyata aku masih belum menjadi manusia hingga saat itu.
Hingga malam hari, mataku masih menelisik lembaran kertas itu, sembari berharap glukosa yang kutambahkan tidak akan segera habis mendahului kertas itu. Kata penulis itu, setidaknya setelah kamu memiliki visi maka kamu harus bergairah. Sepertinya Salim A Fillah mengerti benar kondisi psikis pembacanya.
Selanjutnya, adalah nurani dan disiplin. Tentu saja diantara 4 aspek di atas, aku hanya bermasalah di tiga aspek, dan revisi satu aspek. Tidak ada yang berubah dan tidak akan menjadi lebih baik. Karena hanya membaca, belum memahami, apalagi mengimplementasikan.
Keesokannya jiwa ekstrovertku mendesak keluar. Setelah 2 x 24 jam terdiam beku di dalam asrama. Yah, usaha untuk menghemat energy tidak berjalan sesuai dengan ekspektasi. Selepas shalat maghrib kubiarkan kaki melangkah menemui sosok dewasa itu. Seorang kaka yang terbiasa mendengarkan. Kusempatkan mampir membeli jus jambu, kesukaannya.
Selepas isya, aku memintanya untuk berhenti sebentar, dari kesibukannya menyelesaikan tugas akhir seorang mahasiswa. Ia menepis keinginanya, dalam dua jam obrolan dingin bersama hujan yang gemar mengguyur kota jogja. Kala itu suaraku merendah menandakan enzimku belum terlalu membaik. Setidaknya lagi-lagi aku membantunya menjadi calon sarjana psikologi yang baik. Mendengarkan.
Sesaat bersamanya, aku berasa energiku terisi kembali. Recharge. Mungkin ini yang disebut parfum dalam sebuah hadist nabi tentang teman. Aku bercerita padanya tentang bagaimana reaksi katabolic yang kualami tiga hari ini. Ia hanya tertawa. Diskusi kami berlanjut.
Aku berhenti bercerita. Sekilas ku lihat ke atas, sudah apa aja yang tertulis di sana ? Ternyata seberantakan itu otakku selama ini. Lihatlah, bahkan tidak ada satu kalimatpun yang enak untuk diceritakan ulang. Tapi apapun itu aku terus menulis.
Mengenal diri, FINDING ME. Dalam perspektif psikologi kegiatan yang kita lakukan di usia 19 tahun itu sudah harus selesai pada usia 4 tahun. Se-finding apa anak berusia 4 tahun kala itu. Kita akan bercerita lebih jauh. Dalam konsep tauhid sendiri, dikenal dengan istilah min-fii-ila Allah, artinya dari untuk kepada Allah. Seketika aku teringat akan sbeuah quotes, siapa mengenal Tuhannya maka dia akan mengenal dirinya.
Man ‘arafa Nafsahu, faqad ‘arafa Rabbahu. Dan itu bukan quotes, namun hadist Rasul.
Mengenal bahwa dirinya adalah hamba Allah yang dikaruniai tidak terhitung nikmat, dan sudah sepantasnya kita bersyukur dengannya. Memanfaatkan segala potensi diri untuk menjadi lebih baik bagi ummat. Metabolisme hormone dan enzim yang sering chaos belakangan ini menjadi bukti bahwa diri memang kurang bersyukur.
Menerima segala keterbatasan dan memanfaatkan kelebihan diri menjadi jalan satu-satunya untuk sekarang, menjadi hamba yang bersyukur.
Yah, aku pernah mendengarnya. Setidaknya pernah melintas beberapa kali di telinga. Sayangnya hari itu aku lupa. Seseorang berhasil mengingatkannya. Setidaknya ketika kau mencoba mengenali dirimu, maka itu saat dimana matamu melihat bulan malam di sepertiga hari awal. Ketika kata-katamu melangit dalam doa dan kekhyusukan. Kepada Sang Maha Pemilik Dunia dan Seisinya.
Kepada langkah kaki yang akan berjalan lebih jauh dari biasanya, kepada mentari yang akan bertemu lebih lama hingga tenggelam, bukan pada kesibukan. Namun karya yang mengangkasa, tak hanya mendunia. Kepada tangan yang lebih banyak terulurkan, kepada otak yang akan lebih cepat kehilangan glukosa dan menegang, tenggelam dalam imajinasi dan pemikiran.
Kita bebas dalam batas, selanjutnya ia menjelaskan demikian. Orang yang paling selo adalah mereka yang paling disiplin dengan diri, waktu, dan nafasnya. Mereka memiliki waktu yang tak terbatas, mereka bebas.
Sejenak, aku ingin menengahkan diri dalam sbeutan procrastinator dan deadliner. Segala sesuatu tidak datang dengan tiba-tiba begitu juga dengan inspirasi. Mereka ditemukan dalam rasa syukur dan kesabaran. Mereka adalah hadiah dari langit, berserta penghuninya. Aku ingin menulis kata.
Kata-kata itu hidup. Hidup dalam setiap indera manusia. Merasuki seluruh ruh mereka yang terjaga. Kata adalah bagian dari sebuah hakikat keberadaan Nya. Bagaimana kita mengenal Nya jika Dia tak berfirman. Bagaimana kita mencintai Nya tanpa ada imaan dan perbuatan.
Anies berpesan agar ‘Jangan pernah meremehkan kata-kata, karena kitab suci semua siinya adalah kata-kata’. Kata dari Sang Maha Kuasa. Yang kelak menjadi obat, petunjuk, dan kabar gemira bagi mereka yang taat pada Nya. Kata-kata yang bisa membangkitkan ruh dan raga. Menhidupkan rasa dan menawar luka. Kata yang menjadi terang kala sendu, dan tak terlalu gelap kala pilu.
Kata yang seperti apa ?
Mulai menjadi manusia.
Adibah RA — 24/7 Eating and writing but still have normal life.